TEKNIK PENINGKATAN PRODUKSI GARAM RAKYAT

  • Diterbitkan: Kamis, 03 Juli 2014 03:33
  • Dilihat: 3083
  • 10 Okt

Di Indonesia garam diproduksi dengan cara menguapkan air laut pada sebidang tanah pantai dengan bantuan angin dan sinar matahari sebagai sumber energi penguapan. Produksi garam biasanya masih dilakukan secara tradisional oleh pembudidaya penghasil garam ditambak rakyat yang berada di beberapa daerah pantai  di Indonesia.

Dengan luas lahan garam 43.052,10 ha dan baru sekitar 25,702,06 ha  yang baru dimanfaatkan untuk memproduksi garam. adapun lahan garam tersebut tersebar di sembilan propinsi , yaitu Nanggroe Aceh Darusallam ( 304 ha, dimanfaatkan 277 ha ), Jawa Barat ( 4,278 ha dimanfaatkan 4,116 ha ), Jawa Tengah ( 7,249 ha, dimanfaatkan 6,187 ha ),Jawa Timur (  13.148 ha, dimanfaatkan 10.836 ha ),Bali ( 94,1 ha, dimanfaatkan 57,72 ha ), Nusa Tenggara Timur ( 11,260 ha, dimanfaatkan 263 ha ), Nusa Tenggara Barat ( 1.574 ha , dimanfaatkan 1.052 ha ), Sulawesi Selatan ( 1.462 ha , dimanfaatkan 1.260,23 ha ).( Data disperindag 2009 )

Dengan luasan lahan produksi  seperti tersebut diatas, produksi garam rakyat pada tahun 2009 mencapai 1.265.600 ton terdiri dari garam konsumsi 966.100 ton dan industri 299.500 ton sedangkan kebutuhan garam nasional mencapai 2.865.600 ton yang terdiri dari garam konsumsi 1.166.100 ton dan garam industri 1.699.500 ton , berdasarkan hal tersebut ternyata kebutuhan garam nasional  mengalami kekurangan sebesar 1.600.000 ton yang terdiri dari garam konsumsi 200.000 ton dan garam industri sebesar 1.400.000 ton, sehingga untuk mencukupi kebutuhan garam nasional , pemerintah membuka import garam dari China, india maupun Amerika,( disperindag 2009 )karena tingkat produksi garam rakyat hanya berkisar antara 60 – 80 ton perhektar per musim

MENINGKATAN PRODUKTIFITAS PEGARAMAN MELALUI INTENSIFIKASI LAHAN

Dalam rangka menjamin kebutuhan garam dalam negeri baik untuk kebutuhan konsumsi maupun  industri dibutuhakan pembukaan lahan penggaraman baru ( ekstensifikasi ) diatas lahan garam potensial di Indonesia timur , khususnya Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Tengah., karena disamping tersedianya lahan yang ada juga musim kemarau di wilayah tersebut mencapai kurang lebih sampai 8 ( delapan ) bulan.Tetapi hal ini memerlukan waktu yang panjang  dan modal yang besar juga harus ada investor yang mau bekerja sama. Mengingat hal tersebut yang perlu  dipertimbangkan adalah  tentang intensifikasi lahan agar dapat dilakukan disentra produksi garam yang saat ini sudah ada, terutama melalui kegiatan pembangunan dan penyempurnaan saluran primer serta skunder dan kristalisasi garam bertingkat untuk meningkatkan produksigaram rakyat dan sekaligus produktifitas lahan, karena masalah ini akan lebih penting dan sangat dirasakan manfaatnya bagi petambak garam rakyat, tinggal bagaimana pemerintah menjembatani terhadap pola intensifikasi lahan tersebut, mungkin melalui bantuan atauprogram pelatihanbagi petambak garam melalui  dinas – dinas terkait, sehingga petambak garam mau merobah tata letak lahan garamnya untuk peningkatan produksinya

MEROBAH LAHAN GARAM RAKYAT DARI TRADISIONAL MENJADI SEMI INTENSIF

a. Konstruksi lahan tradisional

Gambar Lahan Pola Tradisional

Dari gambar diatas adalah pola lahan tradisional, dimana perbandingan antara kolam penampung air muda ( buffer ) , kolam peminihan ( penguapan ) dan kolam penampung air tua ( bunker ) dengan meja kristalisasi hampir berbanding 65% : 35% dan hal inilah diantara penyebab hasil produksi garam rakyat tidak akan lebih dari 100 ton per hektar permusim , karena tata letak luasan lahan garam didapat secara turun temurun dan petani tambak garam tidak ada upaya sama sekali untuk meningkatkan hasil produksinya, karena keterbatasan informasi teknologi baru yang selama ini  mereka belum dapatkan.  Kalaupun petani akan mencoba menambah luasan meja Kristal hal ini akan menghadapi kendala didalam penyiapan air tua yang akan dilepas pada meja Kristal karena pada umumnya mereka tidak memiliki kolam penampung air tua

Beberapa hal yang menghambat produksi garam rakyat adalah :

1. Perbandingan atau rasio luasan antara kolam penampung ( reservoir ) , kolam penguapan dan kolam kritalisasi yang belum memadai. Yaitu berbanding kurang lebih 65 % luasan lahan digunakan untuk meja penampung air muda , meja peminihan  dan 35 % untuk meja Kristal . Karena pada umumnya  petani tambak garam rakyat diperolehnya lahan secara turun temurun sehingga tidak ada upaya sama sekali bagaimana supaya hasil produksi bisa meningkat 

2. Terlalu kecilnya luasan kolam kristalisasi. Dengan luasan lahan yang ada petani garam membagi untuk meja krital sangat tidak seimbang sehingga hasil yang didapatpun tidak akan ada perobahan peningkatan produksi yang nyata , hal ini disebabkan terlalu sedikitnya stok air tua yang akan dilepas kemeja Kristal.

3. Tidak adanya kolam bunker untuk air tua dikolam penguapan.Hampir disemua lahan tambak garam tradisional tidak tersedia kolam penampungan air tua ( bunker ) sebagai stok air tua, mereka hanya mengandalkan saluran kecil atau parit yang ada disekitar meja Kristal , dan hal ini sangat merugikan sekali terhadap peningkatan hasil produksi yang diharapkan

4. Dikembalikanya air buangan dari kolam kristalisasi kekolam sebelumnya.Selama proses produksi garam dimeja Kristal akan terjadi peningkatan kepekatan terhadap larutan air garam yang ada, karena petani garam merasakan terhadap perobahan hasil yang didapat atau petani sangat memperhatikan warna kecerahan larutan air garam yang ada dimeja Kristal yaitu kekuning – kuningan ( disebut biten ), sehingga untuk mengganti larutan air garam yang baru mereka membuang air biten ini ke parit penuaan air tua disekitar meja Kristal dengan harapan setelah air biten ini tercampur air tua yang ada diparit tersebut akan memepercepat proses penuan air tua, padahal hal ini sangat merugikan terhadap garam yang dihasilkan karena air biten ini justru akan menurunkan kualitas garam tersebut. 

5. Belum adanya budaya kontrol kualitas air yang baik.Didaerah sentra garam yang ada didaerah minapolitan belum didapat hasil produksi garam yang memenuhi standart garam industry maupun konsumsi, dikarenakan petani tambak garam belum memahami betul tentang kualitas air tua yang akan dilepas kemeja kristalisasi untuk mendapatkan garam yang berkualitas.

6. Belum adanya pemanfaatan sistim tata air yang baik.Air laut adalah sebagai bahan bakuutama d  alam produksi garam sehingga kualitasnya harus benar – benar diperhatikan , namun karena belum adanya tata saluran air yang baik maka petani garam yang memiliki lahan jauh dari laut sangat kesulitan dalam menyalurkan bahan baku tersebut sampai ke lahan.

7. Tanah sebagai faktor peralatan utama.Indonesia mempunyai panjang garis pantai sampai 95 000 kilo meter, namun dengan luasan garis pantai tersebut tidak seluruhnya dapat dimanfaatkan untuk lahan garam, mengingat lahan garam yang baik adalah bertanah liat karena tekstur tanah tersebut mampu menahan air dari kebocoran , sedangkan tanah yang berpasir bersifat forus. Sehingga mengingat kondisi tersebut maka pada daerah – daerah tertentu saja yang bisa memproduksi garam.

8. Iklim sebagai sumber tenaga.Wilayah pantai utara jawa yang merupakan daerah sentra garam rakyat hanya  berkisar 4  sampai 5 bulan saja terjadi musim kemarau , padahal dimusim tersebut petani garam mampu memproduksi garam secara maksimal , sehingga petani garam hanya mampu memproduksi disaat kemarau saja . tetapi lain halnya didaerah Indonesia timur , musim kemarau hampir bisa sampai 8 bulan , sehingga untuk ekstensifikasi lahan Indonesi timur sangat lebih baik. 

 

b. Konstruksi lahan semi intensif

GAMBAR LAHAN POLA SEMI INTENSIF

Sangatlah nyata hasil produksi garam rakyat dari 60 – 80 ton per hektar per musim menjadi 150 ton per hekter per musim yaitu dengan merobah lahan garam dari pola tradisional menjadi pola semi intensif . karena dari pola semi intensif ini akan didapat beberapa keuntungan 

1. Luasan perbandingan lahan 35% untuk kolam buffer , meja peminihan dan bunker , dan 65% meja Kristal. Sehingga meja Kristal dapat di buat sampai 48 meja per hektarnya, sedangkan pada pola tradisional hanya 20 meja Kristal setiap hektarnya.

2. Adanya sistim ulir yang digunakan dari meja peminihan sampai ke kolam penampungan air tua ( bunker ) , karena pada sistim ulir ini akan mempercepat proses perolehan air tua.

3. Tersedianya bunker sebagai kolam penampungan air tua , sehingga petani garam tidak akan kesulitan ( kekurangan ) air tua yang akan dilepas kemeja Kristal 

4. Waktu proses persiapan produksi akan lebih cepat yakni hanya 15 hari , karena proses pembuatan air baku ( air tua ) menggunakan sistim ulir. Sedangkan pada pola tradisional untuk persiapan proses produksi mencapai 40 hari.

 

DAFTAR PUSTAKA

1. Aris Kabul, 2011. Ramsol,Dirjen KP3K Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia , Jakarta.

2. Buku Panduan Pembuatan Garam Bermutu 2002. Badan Riset Kelautan dan Perikanan.Pusat Riset Wilayah Laut dan  Sumberdaya  Nonhayati. Proyek Riset Kelautan dan Perikanan 

3. Pemberdayaan Garam Rakyat.2003. Direktorat Jendral Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan Pemasaran Departemen Kelautan dan Perikanan

 

(Drajat, S.Pi, Widyaiswara BPPP Tegal)

 

Add comment


Security code
Refresh

Statistik Pengunjung

Kami memiliki 38 tamu dan tidak ada anggota online