DIPLOMASI PERIKANAN DI LAUT LEPAS

  • Diterbitkan: Kamis, 03 Juli 2014 02:41
  • Dilihat: 1492
  • 09 Des

 

Keseriusan pemerintah dalam menyukseskan Program revitalisasikelautan danperikanan mulai menunjukan keberpihakannya, khususnya pada peningkatan produksi komoditas ikan tuna.   Ini dikarenakan Indonesia telah meratifikasi beberapa perjanjian pengelolaan perikanan tuna di laut lepas yang pengelolaannya dilakukan secara bersama oleh beberapa negara yang terkumpul dalam organisasi pengelolaan perikanan regional (Regional Fisheries Management Organization/RFMO).

Dengan masuk ke dalam RFMO, Indonesia tidak hanya berhak mendapatkan kuota penangkapan tuna, akan tetapi juga mempunyai akses penjualan tuna tersebut ke pasar internasional, khususnya pasar-pasar di mana negara tujuan ekspor tersebut menjadi anggota dari RFMO. Hal ini dikarenakan kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh suatu negara yang bukan anggota RFMO di wilayah yang dikelola RFMO, maka ia dinyatakan telah melakukan illegal fishing dan produknya terancam diembargo.

Indonesia telah mengikatkan diri pada perjanjian yang dibuat oleh RFMO, dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden (Perpres) No. 9 Tahun 2007 tentang Pengesahan Agreement for the Establishment of the Indian Ocean Tuna Commission (IOTC), dan Perpres No. 109 Tahun 2007 tentang Pengesahan Convention for the Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT).

Wacana keberlanjutan perikanan tidak dapat dilepaskan dari fenomena krisis perikanan global, dimana RFMO dianggap sebagai terobosan untuk mengatasi masalah tersebut. Hal ini merupakan amanat dari berbagai ketentuan internasional, khususnya UNCLOS 1982.

Pengaturan mengenai pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan oleh RFMO tertuang pada Pasal 61 sampai Pasal 67 yang merupakan termasuk Bab V mengenai Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). UNCLOS 1982 juga mengamanatkan kerjasama negara-negara dalam konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan hayati sebagaimana yang tertuang pada Pasal 118 yang termasuk pada Bab VII mengenai Laut Lepas.

Pasal tersebut menyebutkan bahwa, “Negara-negara harus melakukan kerja sama satu dengan lainnya dalam konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan hayati di daerah laut lepas. Negara-negara yang warga negaranya melakukan eksploitasi sumber kekayaan hayati yang sama atau sumber kekayaan hayati yang berlainan di daerah yang sama, harus mengadakan perundingan dengan tujuan untuk mengambil tindakan yang diperlukan untuk konservasi sumber kekayaan hayati yang bersangkutan. Mereka harus, menurut keperluan, bekerja sama untu menetapkan organisasi perikanan sub-regional atau regional untuk keperluan ini”.

Beberapa ketentuan internasional lain yang mengamanatkan pembentukan RFMO dalam menjaga kelestarian sumberdaya ikan. Di antaranya (1) Agreement to Promote Compliance with International Conservation and Management Measures by Fishing Vessel on the High Seas 1993, (2) Agreement for the Implementation of the Provision of the UNCLOS of 19 December 1982 relating to the Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks 1995, (3) Code of Conduct for Responsible Fisheries 1995, dan (4) International Plan of Action 1999.

Sementara itu, pengaturan illegal fishing yang terjadi di wilayah RFMO tertuang pada IPOA on IUU Fishing, yaitu disebutkan bahwa illegal fishing mengacu pada kegiatan-kegiatan yang: (a) diselenggarakan oleh kapal nasional atau asing di perairan di bawah yurisdiksi suatu negara, tanpa izin dari negara tersebut, atau pelanggaran hukum dan peraturan negara tersebut; (b) diselenggarakan oleh kapal-kapal yang mengibarkan bendera negaranya yang merupakan bagian dari organisasi pengelola perikanan yang terkait tetapi melanggar prosedur konservasi dan pengelolaan yang diadopsi oleh organisasi tersebut dan dengan mana sebuah negara terikat, atau perjanjian yang terkait dari hukum internasional yang berlaku; atau (c) dalam pelanggaran hukum nasional atau kewajiban internasional, termasuk yang dilakukan oleh negara-negara yang bekerjasama dalam organisasi pengelola perikanan yang terkait.

Berdasarkan ketentuan tersebut, sangat wajar bila selama ini (baca: sebelum ratifikasi IOTC dan CCSBT), ikan tuna Indonesia kerap diembargo atau diboikot di pasar internasional.

Sebagai negara maritim yang tengah mengembangkan armada perikanannya, sudah selayaknya ikut mengambil haknya untuk memanfaatkan sumberdaya ikan di laut lepas sebagai asas kebebasan di laut lepas, tepatnya kebebasan menangkap ikan sebagaimana yang tertuang pada UNCLOS 1982.

Namun, sebagai bagian dari anggota masyarakat internasional, Indonesia juga harus mengikuti ketentuan hukum internasional yang berlaku dalam hal penangkapan ikan di laut lepas, khususnya aturan yang dikeluarkan oleh RFMO dalam mengelola pemanfaatan sumber daya ikan.

Indonesia sudah menjadi anggota (contracting parties) di IOTC dan CCSBT. Dengan status itu, di samping mempunyai hak suara, Indonesia juga memperoleh beberapa manfaat, seperti: penghematan waktu dan biaya dari kesempatan kerjasama penelitian dan pengumpulan data perikanan, pemanfaatan total allowable catch, melakukan monitoring controlling and surveilance, dan penegakan hukum serta pengelolaan dan konservasi sumber daya ikan yang banyak membutuhkan tenaga ahli. Indonesia juga tidak dianggap melakukan penangkapan ilegal di perairan laut lokasi RFMO; dan mendapatkan jaminan akses pemasaran tuna di pasar internasional.

Keterlibatan Indonesia dalam pengelolaan ikan regional maupun internasional telah diamanatkan oleh UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Misalnya, dimuatnya pengaturan kegiatan perikanan di laut lepas sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 5, yaitu: ”Pengelolaan perikanan di luar wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang diselenggarakan berdasarkan peraturan perundang-undangan, persyaratan, danatau standar internasional yang diterima secara umum”.

Selain itu, UU No. 31 Tahun 2004 juga menuntut Pemerintah Indonesia untuk ikut serta secara aktif dalam keanggotaan badan/lembaga/organisasi regional dan internasional dalam rangka kerjasama pengelolaan perikanan regional dan internasional sebagaimana yang tertuang pada Pasal 10. Secara yuridis Indonesia telah mempunyai landasan hukum yang jelas dalam melakukan kerja sama pengelolaan perikanan dengan negara-negara tetangga, baik di wilayah perairan yang berbatasan maupun di perairan laut lepas.

Keterlibatan Indonesia dalam RFMO tidak hanya bertujuan dalam program pencitraan diri sebagai negara yang bertanggung jawab dalam mewujudkan perikanan berkelanjutan secara global. Tetapi lebih dari pada itu, dalam rangka memfasilitasi warga negaranya untuk mengakses sumberdaya ikan di laut lepas, dimana sumberdaya ikan di perairan Indonesia semakin menipis. Manfaat lainnya adalah mendapatkan beberapa fasilitas seperti bantuan tenaga ahli dalam melakukan kajian assessment sumberdaya ikan yang membutuhkan dana banyak.

(Ade Yunaifah A, SE, Widyaiswara BPPP Tegal)

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Undang-undang Nomor  31 Tahun 2004 Tentang Perikanan

Peraturan Presiden (Perpres) No. 9 Tahun 2007 tentang Pengesahan Agreement for the Establishment of the Indian Ocean Tuna Commission (IOTC)

Perpres No. 109 Tahun 2007 tentang Pengesahan Convention for the Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT)

Agreement to Promote Compliance with International Conservation and Management Measuresby Fishing Vessel on the High Seas 1993

Agreement for the Implementation of the Provision of the UNCLOS of 19 December 1982relating to the Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks 1995

Code of Conduct for Responsible Fisheries 1995

International Plan of Action 1999

 

Add comment


Security code
Refresh

Statistik Pengunjung

Kami memiliki 9 tamu dan tidak ada anggota online