ASPEK PERIKANAN IKAN TENGGIRI DI LAUT JAWA YANG DIDARATKAN DI PPI KARANGSONG
- Diterbitkan: Rabu, 11 Maret 2015 10:05
- Dilihat: 6294
- 11 Mar
Potensi ikan tenggiri di laut Jawa yang didaratkan di PPI Karangsong merupakan penyumbang produksi ikan tenggiri terbesar di Provinsi Jawa Barat tercatat sebesar 3.218,49 ton atau 71% (Ditjen Perikanan Tangkap, 2011; BPS Provinsi Jawa Barat, 2013). Ikan tenggiri adalah ikan paling populer dan menjadi primadona hasil tangkapan utama terlebih pada musim penangkapan ikan tenggiri pada bulan Maret, Mei, Juli, November, dan Desember (KPL Mina Sumitra, 2014).
Tindakan pengelolaan yang rasional berkelanjutan dibutuhkan data dan informasi yang benar sesuai kondisi habitat sumberdaya ikan tenggiri. Penelitian ini menganalisis aspek perikanan ikan tenggiri di laut Jawa yang didaratkan di PPI Karangsong. Metode yang digunakan adalah dengan metode pendekatan aspek perikanan meliputi: daerah penangkapan, penentuan selektivitas alat penangkapan (Suadela, 2004), analsis tren produksi, suhu dan klorofil dengan data citra satelit Modis Oceancolor. Produksi ikan tenggiri di laut Jawa secara umum mengalami penurunan tiap bulan (Maret-Mei 2014) dengan produksi tertinggi pada bulan April sebesar 10.556 kg (jaring millenium) dan 1.779 kg (jaring rampus). Daerah penangkapan ikan adalah perairan dekat pantai dan dekat pulau yang ada disekitar perairan Indramayu. Suhu perairan yang menjadi daerah penangkapan nelayan (perairan Indramayu dan sekitarnya) berkisar antara 28,83-29,350C dengan konsentrasi klorofil 0,81-0,93 mg/m3. Secara umum konsentrasi klorofil di laut Jawa lebih tinggi disekitar pantai dan semakin menjauh pantai konsentrasi semakin menurun menjadi lebih kecil 0,66 mg/m3 artinya potensi sumberdaya ikan tenggiri sangat dipengaruhi suhu dan konsentrasi klorofil untuk migrasi dan memijah di laut Jawa. Ikan tenggiri sebagai ikan neritic tuna. Komposisi hasil tangkapan jaring millenium dominan ikan tenggiri sebesar 39% dan 31% dengan jaring rampus yang mengindikasikan target utama hasil tangkapan di laut Jawa. Berdasarkan perhitungan bobot dan ukuran panjang ikan yang didaratkan, selektivitas alat penangkapan jaring millenium dan jaring rampus yang digunakan nelayan Indramayu sebagai alat penangkapan yang kurang ramah lingkungan untuk diusahakan keberlanjutannya. Sehingga dibutuhkan pengelolaan terhadap hasil tangkapan ikan tenggiri yang layak tangkap yaitu ukuran ikan pertama kali tertangkap (Lc) lebih besar daripada ukuran ikan pertama kali matang gonad (Lm), dengan memperbesar ukuran mata jaring (mesh size) dan pengaturan daerah penangkapan ikan tenggiri (lepas pantai).
Sumberdaya ikan di Indonesia bila dikelompokan berdasarkan potensi jenis ikan terdiri dari ikan pelagis kecil 3.645.600 ton/tahun atau 55,9%, demersal 1.452.400 ton/tahun atau 22,27%, pelagis besar 1.145.400 ton/tahun atau 17,56%. Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 712 yaitu laut Jawa potensi sumberdaya ikan sebesar 836.600 ton/tahun dengan potensi ikan pelagis besar sebesar 55.000 ton/tahun (KKP, 2012). Kabupaten Indramayu berdasarkan pada kondisi perairan dan penyebaran potensi ikan berada dalam WPP 712, tercatat sebagai daerah yang mempunyai potensi sumberdaya ikan dan penyumbang terbesar di Provinsi Jawa Barat sebesar 115.785,81 ton atau 58,2% pada tahun 2012, dengan produksi ikan tenggiri (Scomberomorus commerson) yang didaratkan di pangkalan pendaratan ikan (PPI) Karangsong Kabupaten Indramayu tercatat sebesar 3.218,49 ton atau 71%. Berdasarkan produksi ikan tenggiri per Provinsi di Indonesia tahun 2011 ikan ini menempati urutan ke-lima (11,1%) (Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Tahun, 2011; Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat, 2013).
Ikan tenggiri termasuk jenis ikan paling populer dan menjadi primadona hasil tangkapan nelayan Indramayu setelah ikan tongkol (KPL Mina Sumitra, 2012). Produksi ikan tenggiri tertinggi yang didaratkan di PPI Karangsong terjadi pada bulan Desember, Mei, Maret, Juli, dan November. Sedangkan berdasarkan hasil-hasil penelitian sebelumnya produksi tertinggi ikan tenggiri di laut Jawa adalah pada bulan Mei, Juni, dan Juli (Musim Timur) dengan suhu perairan berkisar antara 23-320C (suhu dominan 27,550C) (Djamali, 1980; Wahyuningrum dkk., 2011; Sachoemar dan Ali, 2011).
Jaring insang hanyut (gillnet) mendominasi hasil tangkapan ikan tenggiri sebesar 49,05% dan paling produktif dengan hasil tangkapan lebih besar dibandingkan dengan alat penangkapan lainnya sebesar 50% di perairan lepas pantai Semarang (Djamali, 1980; Badrudin dkk., 2001; Utami dkk., 2012; Cristianawati dkk., 2012). Ikan tenggiri yang tertangkap oleh nelayan Kabupaten Indramayu dengan menggunakan jaring millenium mesh size 4 inchi (polyamide/PA multifilamen) dan jaring rampus mesh size 3,8 inchi (polyamide/PA monofilamen). Alat penangkapan yang dominan di perairan Indramayu. Hasil tangkapan ikan tenggiri yang didaratkan di PPI Karangsong sebesar 42% dan cenderung mengalami peningkatan produksi setiap tahun (Hantardi dkk., 2013; KPL Mina Sumitra, 2013).
Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Karangsong Indramayu merupakan PPI yang menghasilkan produksi ikan tenggiri terbesar di Provinsi Jawa Barat dengan tren produksi meningkat setiap tahun dibandingkan 13 PPI lainnya di Kabupaten Indramayu sebesar 3.218,49 ton atau 15,29% dari total produksi perikanan. Berdasarkan data, informasi, dan survei di lokasi penelitian (pada bulan Februari), serta aktivitas nelayan dalam menangkap ikan di dekat pantai. Sehubungan dengan hal tersebut di khawatirkan akan terjadi penangkapan berlebih (over fishing) terhadap populasi sumberdaya ikan tenggiri di laut Jawa (perairan Indramayu dan sekitarnya) yang merupakan ikan khas dan menjadi komoditas primadona para nelayan Kabupaten Indramayu. Sehingga diperlukan pengelolaan perikanan ikan tenggiri yang bertanggungjawab dan berkelanjutan, maka ketersediaan data dan informasi sangat menentukan tindakan pengelolaan yang rasional berkelanjutan (Widodo dan Suadi, 2006).
Produksi ikan tenggiri di laut Jawa yang didaratkan di PPI Karangsong selama penelitian (Maret-Mei 2014) mengalami penurunan tiap bulan, pada bulan Maret 4,2% atau 10.223 kg, April 4,1% atau 10.556 kg, dan Mei 1,7% atau 2.870 kg (jaring millenium), sedangkan hasil tangkapan ikan tenggiri dengan jaring rampus terjadi sebaliknya yakni mengalami kenaikan tiap bulan, pada bulan Maret 0,3% atau 394 kg, April 1,4% 1.779 kg, kecuali bulan Mei 1,3% atau 1.094 kg dari total produksi ikan tenggiri yang didaratkan di PPI Karangsong (Tabel 1).
TABEL 1. Total Produksi Ikan Tenggiri yang didaratkan di PPI Karangsong Tahun 2014
Produksi hasil tangkapan ikan tenggiri di laut Jawa yang didaratkan di PPI Karangsong tertinggi pada bulan April sebesar 10.556 kg (jaring millenium), 1.779 kg (jaring rampus) tersaji pada tabel 2. Tren produksi bulanan ini berbeda dengan di teluk Kuandang (laut Sulawesi) dan di Labuhan Jawa barat yang di laporkan Noegroho (2013); Djamali (1980) yaitu terjadi pada bulan Juli, dan bulan Juni di perairan Indramayu Wahyuningrum dkk., (2011), di perairan pulau Tambelan Kepulauan Riau puncak tertinggi produksi pada bulan Desember dan Januari Kurnia dkk., (2012). Parameter lingkungan fisik dan lingkungan biologi mempengaruhi kelimpahan ikan di laut Jawa Gaol dan Sadhotomo (2007), bulan April ikan tenggiri cenderung lebih dekat dengan pantai Widodo A.A., (2011). Perbedaan puncak produksi ikan tenggiri di laut Jawa yang didaratkan di PPI Karangsong diduga disebabkan oleh musim, makanan yang tersedia di perairan, kondisi perairan (suhu dan klorofil) dan alat penangkapan yang digunakan. Senada dengan hasil penelitian ini, Merta dan Nurhakim, (2001) yang menyebutkan terjadinya perbedaan produksi disebabkan faktor meliputi: faktor dari dalam tubuh ikan dan faktor luar atau lingkungan.
TABEL 2. Produksi Ikan Tenggiri di Laut Jawa yang didaratkan di PPI Karangsong
Menurut Yani (2004), daerah penangkapan jaring millenium dan jaring rampus adalah perairan Eretan, perairan Indramayu, perairan Balongan (sekitar pengeboran minyak), perairan Cirebon dan sekitar pulau Rakit (pulau Biawak). Daerah penangkapan (fishing ground) tersebut tidak jauh berbeda di tiap bulannya. Untuk jaring rampus daerah penangkapan tidak sampai ke perairan Eretan disebabkan hasil tangkapan yang diperoleh jumlahnya sedikit (hasil wawancara dengan nelayan) dan jarak tempuh ke daerah penangkapan cukup jauh.
Daerah penangkapan ikan tenggiri di laut Jawa pada bulan Maret-Mei (musim peralihan I) berada di perairan dekat pantai dan pulau dengan menggunakan jaring millenium maupun jaring rampus dengan produksi tertinggi pada bulan April. Senada dengan hasil penelitian Noegroho (2013), menyebutkan ikan tenggiri sebagai ikan neritic tuna.
Kondisi perairan laut Jawa sangat dipengaruhi oleh angin Munson Barat dan angin Munson Timur yang dikenal dengan musim barat dan musim timur serta musim peralihannya (Wyrtki, 1961), kondisi perairan yang di amati selama penelitian pada daerah penangkapan nelayan Karangsong bulan Maret-Mei.
Suhu permukaan laut (SPL) perairan Indramayu berkisar antara 23-330 C Wahyuningrum dkk., (2011). Menurut Hendiarti dkk., (2005) SPL rata-rata bulanan laut Jawa pada bulan Februari suhu terendah 270 C dan suhu tertinggi pada bulan Mei suhu 300 C. Suhu permukaan laut bulanan di daerah penangkapan pada bulan Januari mencapai 27,440 C dan naik pada bulan berikutnya hingga mencapai suhu tertinggi pada bulan Mei 29,050 C (tahun 2010-2013), sedangkan pada tahun 2013 suhu terendah mencapai 27,660 C pada bulan Januari dan naik pada bulan Februari (28,760 C), Maret (28,830 C), April (29,090 C) dan Mei 29,350 C atau suhu tertinggi pada tahun 2013, perkembangan SPL tiap tahun di perairan laut Jawa (perairan Indramayu dan sekitarnya) terus mengalami kenaikan disebabkan selama bulan Januari-Mei masih didominasi musim barat, massa air bergerak dari barat menuju ke timur Gaol dan Sadhotomo (2007), sehingga SPL pada bulan Maret-Mei tahun 2014 cenderung sama (berfluktuasi rendah) perkembangan tersebut dapat dilihat pada gambar 1.
GRAFIK 1. Suhu Permukaan Laut (SPL) Rata-rata Bulanan Perairan Indramayu dan sekitarnya 2010-2013 [Sumber: Data Modis Oceancolor]
Habitat perairan yang disukai ikan tenggiri mempunyai SPL berkisar antara suhu 23-330 C Wahyuningrum dkk., (2011), SPL perairan Indramayu dan sekitarnya (daerah penangkapan nelayan Karangsong) yang menangkap ikan tenggiri pada bulan Maret-Mei mempunyai suhu lebih tinggi berkisar antara 28,83-29,350 C (tahun 2013) berbeda dengan hasil penelitian Illahude (1970); Gaol dan Sadhotomo (2007); Priatna dan Natsir (2007) menyatakan bahwa SPL Laut Jawa pada bulan Januari-Mei pada umumnya turun berkisar antara 27-290 C dan relatif homogen. Pada bulan April dan Mei SPL di perairan Indramayu dan sekitarnya tercatat pada suhu 29,090 C dan 29,350 C dengan hasil tangkapan ikan tenggiri yang didaratkan di PPI Karangsong mencapai puncak produksi pada bulan April. Suhu di perairan Indramayu dan sekitarnya (laut Jawa) dengan kedalaman perairan berkisar antara 5-75 m, sehingga dapat disimpulkan bahwa ikan tenggiri di perairan Indramayu dan sekitarnya cenderung lebih menyukai SPL yang lebih hangat untuk bermigrasi dan memijah, karena kaya akan sumber makanan diantaranya fitoplankton, zooplankton, ikan kecil, dan ikan besar (Devaraj, 1983; Hidayat, 2013).
Klorofil sebagai indikator kesuburan perairan, ikan-ikan akan tertarik dan berenang lebih dekat ke perairan karena peningkatan jumlah klorofil, plankton dan massa air yang mengandung banyak nutrien, sehingga jumlah ikan di sekitar perairan meningkat untuk bermigrasi dan memijah serta diikuti pula oleh produksi ikan yang tinggi di perairan (Hendiarti dan Sadly, 2011; Arinardi, 1989).
Konsentrasi klorofil bulanan di perairan Indramayu dan sekitarnya (daerah penangkapan nelayan Karangsong) pada bulan Januari mencapai 0,96 mg/m3 dan naik pada bulan Februari hingga mencapai 1,29 mg/m3, bulan Maret mencapai 0,98 mg/m3, bulan April konsentrasi klorofil mencapai 1,12 mg/m3 dan naik pada bulan Mei hingga mencapai 1,17 mg/m3 (tahun 2010-2013), perkembangan klorofil tiap tahun di perairan laut Jawa (perairan Indramayu dan sekitarnya) mengalami penurunan dapat dilihat pada gambar 2. Fluktuasi konsentrasi klorofil rata-rata bulanan pada bulan Maret-Mei konsentrasi klorofil tidak jauh berbeda yaitu 0,71 mg/m3 pada bulan Maret, pada bulan April 0,97 mg/m3, pada bulan Mei 1,16 mg/m3 (tahun 2012), pada tahun 2013 konsentrasi klorofil terendah mencapai 0,69 mg/m3 pada bulan Januari dan naik pada bulan Februari (1,19 mg/m3), Maret (0,81 mg/m3), April (0,90 mg/m3) dan Mei 0,93 mg/m3 atau konsentrasi klorofil tertinggi di dekat pantai, yang artinya ketersediaan makanan bagi ikan tenggiri dan biota laut lain tersedia lebih banyak didekat pantai atau kaya akan sumber makanan, dengan demkian menarik untuk ikan dan biota laut lainnya bermigrasi dan memijah. sehingga konsentrasi klorofil pada bulan Maret-Mei tahun 2014 cenderung sama.
GRAFIK 2
Konsentrasi klorofil rata-rata bulanan menunjukan bahwa secara umum konsentrasi klorofil di perairan Indramayu dan sekitarnya lebih tinggi di sekitar pantai (daerah penangkapan nelayan Karangsong), dan semakin menjauh pantai konsentrasi semakin menurun menjadi lebih kecil 0,66 mg/m3. Kandungan klorofil rata-rata pada bulan April dan Mei sebesar 0,91 mg/m3 dan 0,93 mg/m3 dengan SPL 29,090 C dan 29,350 C (Gambar 3) diikuti dengan produksi ikan tenggiri tertinggi (puncak produksi) pada bulan April yang didaratkan di PPI Karangsong dibandingkan dengan produksi pada bulan Maret dan Mei. Penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa parameter lingkungan fisik (suhu dan klorofil) dan parameter biologi mempengaruhi distribusi dan kelimpahan ikan di laut Jawa dengan konsentrasi klorofil lebih tinggi disekitar pantai dan semakin menjauh pantai konsentrasi menurun (Gaol dan Sadhotomo, 2007).
Konsentrasi klorofil tinggi di perairan menghasilkan sumber makanan bagi biota laut (larva, udang, ikan, dan lain-lain) Kaswadji (2006) dalam Gaol dan Sadhotomo (2007). Menurut Nontji dan Illahude (1972) menyatakan konsentrasi klorofil tinggi dan SPL secara tidak langsung merupakan indikator melimpahnya sumberdaya ikan tenggiri di laut Jawa disebabkan kelimpahan plankton menjadi sumber makanan larva ikan pada musim pemijahan sehingga kecenderungan ikan tenggiri diperairan Indramayu dan sekitarnya sangat dipengaruhi konsentrasi klorofil dan SPL untuk bermigrasi dan memijah.
GRAFIK 3. Perkembangan rata-rata Bulanan Suhu Permukaan Laut (SPL) dan Klorofil Perairan Indramayu dan sekitarnya 2013
Musim pemijahan ikan tenggiri sangat dipengaruhi oleh suhu dan konsentrasi klorofil diperairan, puncak musim ikan tenggiri memijah pada April-Mei Devaraj (1983), Mei-Juni diperairan laut Sulawesi (Noegroho, 2013). Konsentrasi klorofil 0,93 mg/m3 diikuti meningkatnya nilai IKG 3,15% ikan tenggiri pada bulan Mei sedangkan pada bulan April lebih rendah nilai konsentrasi klorofil 0,91 mg/m3 dan nilai IKG 1,74% (Gambar 4).
Gambar 4. Konsentrasi Klorofil dan IKG Ikan Tenggiri
Komposisi hasil tangkapan yang didaratkan dengan jaring millenium pada bulan Maret-Mei adalah ikan tenggiri (Scomberomorus commerson) 39%, tongkol (Auxis thazard) 26%, manyung (Arius thalassinus) 6%, banyar (Rastrelliger canagurta); petek masing-masing 3%, bawal hitam (Formio niger); cucut (Hemigaleus balfouri); remang (Congresox talabon); kakap merah (Lutjanus malabaricus); talang-talang (Chorinemus tala) masing-masing 2%, kerapu 0,09%, tenggiri batang (Scomberomorus lineolatus) 0,04%, tenggiri totol/papan (Scomberomorus guttatus) 1,79% dan lain-lain 11,6% (Gambar 5).
Gambar 5. Komposisi Hasil Tangkapan Jaring Millenium di Perairan Indramayu dan sekitarnya
Dari hasil tangkapan jaring millenium dominan yang tertangkap adalah ikan tenggiri yang menandakan target utama hasil tangkapan jaring millenium di laut Jawa. Ikan tenggiri yang tertangkap setiap bulan ada dengan persentase tertinggi pada bulan April sesuai dengan produksi ikan tenggiri yang didaratkan di PPI Karangsong (Tabel 3).
TABEL 3. Persentase Komposisi Hasil Tangkapan Jaring Millenium
Komposisi hasil tangkapan yang didaratkan dengan jaring rampus pada bulan Maret-Mei adalah ikan tenggiri (Scomberomorus commerson) 31%, tenggiri totol/papan (Scomberomorus guttatus) 20%, tongkol (Auxis thazard) 11%, manyung (Arius thalassinus); talang-talang (Chorinemus tala) masing-masing 7%, remang (Congresox talabon); kuro (Eleutheronema tetradactylum) masing-masing 3%, petek; cucut (Hemigaleus balfouri); sebelah (Psettodes erumei) masing-masing 2%, banyar (Rastrelliger canagurta) 0,12%; bawal hitam (Formio niger) 0,64%, kakap merah (Lutjanus malabaricus) 0,86%, tenggiri batang (Scomberomorus lineolatus) 0,03% dan lain-lain 9,56% (Gambar 6)
Gambar 6. Komposisi Hasil Tangkapan Jaring Rampus di Perairan Indramayu dan sekitarnya
Dari hasil tangkapan jaring rampus dominan yang tertangkap adalah jenis ikan tenggiri yaitu tenggiri (Scomberomorus commerson) yang menandakan target utama hasil tangkapan jaring rampus di laut Jawa. Ikan tenggiri yang tertangkap setiap bulan ada dengan persentase tertinggi pada bulan April sesuai dengan produksi ikan tenggiri yang didaratkan di PPI Karangsong (Tabel 4).
Tabel 4. Persentase Komposisi Hasil Tangkapan Jaring Rampus
Komposisi hasil tangkapan ikan tenggiri di laut Jawa yang didaratkan di PPI Karangsong menggunakan jaring millenium dan jaring rampus pada bulan Maret-Mei (peralihan I) persentase tertinggi pada bulan April sebesar 63,41% (jaring millenium) dan 46,90% (jaring rampus). Menurut Hantardi dkk., (2013) menyebutkan di perairan Jepara ikan tenggiri tertangkap menggunakan jaring insang hanyut dengan ukuran lebar mata jaring 4 inchi dengan persentase sebesar 42% (musim timur). Ikan tenggiri di perairan Bengkulu (Barat Sumatera) puncak musim penangkapan pada bulan Desember (musim barat) BRKP (2004). Ikan-ikan pelagis besar bermigrasi dengan tujuan mencari makan Sumadhiharga (2009), hasil penelitian Noegroho (2013) menyebutkan ikan tenggiri bermigrasi di suatu perairan ditandai dengan melimpahnya makanan. Berdasarkan data hasil tangkapan dapat di simpulkan bahwa ikan tenggiri bermigrasi mengikuti ikan-ikan pelagis kecil sebagai makanannya dan pola musim dengan hasil tangkapan lebih banyak tertangkap pada bulan April (musim penangkapan).
Menurut Suadela (2004) menyatakan alat penangkapan ikan dikatakan selektif (ramah lingkungan) jika alat penangkapan tersebut memenuhi kriteria-kriteria keramahan lingkungan diantaranya adalah:
- Membandingkan proporsi hasil tangkapan sasaran utama (HTSU) dan hasil tangkapan sampingan (HTS). Jika proporsi HTSU yang diperoleh ≥ 60%, maka alat penangkapan tersebut dapat dikatakan ramah lingkungan (Tabel 5.6).
- Ikan hasil tangkapan sasaran utama apakah layak tangkap (Lc > Lm) atau tidak layak tangkap (Lc < Lm) terlihat dari pengukuran panjang cagak ikan hasil tangkapan. Jika ukuran panjang ikan pertama kali tertangkap (Lc) lebih besar dari ikan pertama kali matang gonad (Lm) maka dikatakan ikan tersebut layak tangkap. Jika proporsi ikan layak tangkap ≥ 60% maka dapat dikatakan selektif (Tabel 5).
TABEL 5. Penilaian Tingkat Keramahan Lingkungan Alat Penangkapan
Alat penangkapan ikan yang digunakan nelayan Karangsong Indramayu untuk menangkap ikan tenggiri didominasi jaring millenium dan jaring rampus dengan bahan kapal terbuat dari kayu, jaring millenium dan jaring rampus merupakan jenis jaring insang hanyut (gillnet) yang bersifat pasif. Jaring millenium yang digunakan mempunyai lebar mata jaring (mesh size) 4 inchi dengan panjang jaring 4.650 m atau 50 piece (lembar jaring) sedangkan jaring rampus dengan lebar mata jaring 3,8 inchi dengan panjang jaring 1.800 m 30 piece (lembar jaring), waktu melaut masing-masing alat penangkapan tersebut adalah 2-5 hari (jaring millenium) dan 1 hari (jaring rampus atau one day fishing).
TABEL 6. Hasil Penilaian Tingkat Keramahan Lingkungan (Selektif)
Hasil tangkapan ikan tenggiri yang didaratkan selama penelitian dengan komposisi 39% (jaring millenium) dan 31% (jaring rampus) dari total tangkapan (berat ikan) dapat dilihat pada tabel 6. Berdasarkan proporsi ini maka hasil tangkapan sasaran utama nelayan Karangsong di laut Jawa yang didaratkan di PPI Karangsong kurang dari 60%. Kriteria yang kedua keramahan lingkungan (selektif) alat penangkapan, ukuran ikan yang tertangkap layak tangkap (Lc > Lm) atau tidak layak tangkap (Lc < Lm), ukuran panjang ikan hasil tangkapan dapat digunakan untuk menentukan layak atau tidaknya ikan tersebut untuk ditangkap dengan mengetahui batasan ukuran panjang ikan tersebut pertama kali matang gonad (length at first maturity) Ramadhan, (2008). Ukuran ikan tenggiri pertama kali tertangkap (Lc) 63,76 cm dan ukuran pertama kali matang gonad ikan tenggiri (Lm) 74,83 cm (hasil tangkapan 28-102 cm) dengan alat penangkapan jaring millenium dan jaring rampus, dari proporsi diatas maka Lc < Lm (tidak layak tangkap).
Komposisi hasil tangkapan selama penelitian menunjukan pada bulan Maret ikan tenggiri sebanyak 10.223 kg atau 29%, April 10.556 kg atau 63,41%, dan bulan Mei 2.870 kg atau 31,37% (jaring millenium). Sedangkan jaring rampus pada bulan Maret sebanyak 394 kg atau 22,19%, April 1.779 kg atau 46,9%, dan bulan Mei 1.094 kg atau 21,68%.
Selama penelitian pada bulan Maret sampai dengan Mei 2014, komposisi hasil tangkapan jaring insang hanyut (jaring millenium dan rampus) menunjukan bahwa alat tangkap tersebut dengan proporsi hasil tangkapan sasaran utama sebesar 39% dan 31% dari total ikan yang tertangkap atau kurang dari proporsi 60%, tetapi apabila ditinjau dari berat ikan tiap bulan, proporsi hasil tangkapan utama pada bulan April sebesar 63,41% atau lebih dari proporsi 60% dibandingkan pada bulan Maret dan Mei (jaring millenium) serta alat penangkapan jaring rampus, persentase hasil tangkapan dapat dilihat pada tabel 3 dan tabel 4.
Komposisi hasil tangkapan sasaran utama menunjukan selektivitas dari alat penangkapan (jaring millenium dan jaring rampus). Bila proporsi hasil tangkapan sasaran utama yang dihasilkan semakin besar, maka alat tersebut dapat dikatakan selektif dari segi jenis dan kriteria ukuran ikan layak tangkap merupakan kriteria paling kuat untuk menentukan keramahan lingkungan operasi penangkapan ikan (Ramdhan, 2008). Menurut Merta dkk,. (2003) pengaturan penangkapan ikan dengan menetapkan Lc > Lm (ikan layak tangkap) guna pengelolaan perikanan bertanggungjawab. Menurut Suadela, (2004) menyatakan bila proporsi hasil tangkapan sasaran utama ≥ 60% maka suatu alat tangkap dapat dikatakan ramah lingkungan. Berdasarkan kriteria tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa alat penangkapan jaring millenium dengan proporsi 39% dan jaring rampus dengan proporsi 31% jika ditinjau dari segi berat dan ukuran panjang ikan pertama kali tertangkap lebih kecil daripada ikan pertama kali matang gonad (Lc < Lm) hasil tangkapan ikan tenggiri secara umum kurang ramah lingkungan. Hantardi dkk., (2013) menyatakan alat penangkapan jaring insang hanyut (gillnet) untuk menangkap ikan tenggiri pada saat ini cenderung mengabaikan kelestarian, tetapi apabila ditinjau dari segi berat tangkapan dengan alat penangkapan jaring millenium tiap bulan pada bulan April dapat dikatakan ramah lingkungan dengan proporsi 63,41%.
Ikan tenggiri di laut Jawa yang didaratkan di PPI Karangsong selama penelitian Maret sampai dengan Mei 2014 (musim peralihan I) didominasi ikan yang belum matang gonad (belum memijah) diduga disebabkan oleh musim penangkapan ikan tenggiri atau produksi tertinggi (Desember dan April) KPL Mina Sumitra (2013). Kondisi musim sudah dipengaruhi musim timur massa air bergerak dari timur menuju ke barat, alat penangkapan yang dioperasikan (jaring millenium dan jaring rampus) beroperasi di perairan dangkal yang diduga merupakan daerah untuk mencari ikan (feeding ground), daerah pemijahan (spawning ground), dan daerah asuhan bagi ikan-ikan muda (nursey ground). Perairan Indramayu merupakan perairan tergolong keruh yang disenangi ikan tenggiri dan kondisi perairan relatif homogen (Ramadhan, 2008).
Perikanan tenggiri di laut Jawa yang didaratkan di PPI Karangsong mengalami penurunan produksi (bobot) dari bulan Maret ke bulan Mei 2014 sebesar 62,66%, dengan hasil tangkapan tertinggi pada bulan April. Panjang ikan tenggiri yang tertangkap tiap bulan didominasi ikan belum matang gonad sebesar 63% (jaring millenium) dan 73% (jaring rampus). Berdasarkan bobot proporsi hasil tangkapan sasaran utama (HTSU) sebesar 39% (jaring millenium) dan 31% (jaring rampus) atau kurang dari 60% dan ikan yang tertangkap tidak layak tangkap dengan nilai Lc 63,76 cm dan Lm 74,83 cm. Dengan demikian alat yang dioperasikan kurang ramah lingkungan (tidak selektif). Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya musim/cuaca, daerah penangkapan dekat pantai, kondisi perairan meningkat (suhu dan klorofil), serta besarnya mata jaring yang digunakan terlalu kecil.
Daerah penangkapan ikan tenggiri di laut Jawa adalah perairan Indramayu, perairan Eretan, perairan Balongan, perairan Cirebon, dan pulau Rakit yang merupakan perairan–perairan dangkal dan dekat dengan pantai. Pada perairan tersebut diduga daerah pemijahan dan daerah asuhan yuwana ikan tenggiri dengan SPL berkisar antara 28,83-29,350 C (SPL hangat) dan konsentrasi klorofil berkisar antara 0,81-0,93 mg/m3 (kaya sumber makanan), makanan ikan tenggiri di laut Jawa adalah ikan-ikan pelagis kecil yang mempunyai nilai ekonomis penting, ikan banyar tertangkap bersama ikan tenggiri hasil tangkapan yang didaratkan di PPI Karangsong.
Ikan tenggiri di laut Jawa yang didaratkan di PPI Karangsong berdasarkan analisa aspek perikanan kurang ramah lingkungan untuk diusahakan keberlanjutannya. Hal ini jika dibiarkan terus menerus di khawatirkan akan merusak kelestarian ikan tenggiri, sehingga dibutuhkan pengelolaan terhadap hasil tangkapan ikan yang layak tangkap dengan memperbesar ukuran mata jaring dan pengaturan penangkapan ikan tenggiri didaerah yang diduga tempat pemijahan (spawning ground).
Refrensi :
Arinardi, O.H. (1989). Upwelling di selat bali dan hubungannya dengan kandungan plankton serta perikanan lemuru (Sardinella longiceps). Penelitian oseanologi perairan Indonesia buku I, Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi LIPI. Jakarta. 159 hlm.
Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat (2013). Jawa Barat dalam angka 2013, Bidang Integrasi Pengolahan dan Diseminasi Statistik BPS Provinsi Jawa Barat: 490 hlm.
Badrudin, A. Djamali & B. Sumiono (2001). Taksonomi dan ekologi perikanan (Identifikasi ikan dan biologi perikanan). Dalam (A. Djamali, O.K. Sumadhiharga, B. Sumiono & Sulistijo). 2001. Penuntun pengkajian stok sumberdaya ikan perairan Indonesia, Pusat Riset Perikanan Tangkap BRKP-DKP dan P2O-LIPI, Jakarta: 179-188.
Cristianawati, O., Pramonowibowo, dan A. Hartoko (2013). Analisa spasial daerah penangkapan ikan dengan jaring insang (gillnet) di perairan Kota Semarang, Jawa Tengah. Journal of Fisheries Resources Utilization Management and Technology.2(2): 1-10.
Devaraj, M. (1983). Maturity, spawning and fecundity of the king seer, Scomberomorus commerson (Lacepede),in the seas around the Indian Peninsula. Indian Journal Fisheries.30(2): 203-230.
Djamali, A. (1980). Ikan-ikan niaga dari Labuhan, Jawa Barat dengan catatan tentang perikanannya. Dalam (Burhanuddin, M.K. Moosa & H. Razak). 1980. Sumberdaya hayati bahari rangkuman beberapa hasil penelitian pelita II, Lembaga Oseanologi Nasional-LIPI, Jakarta: 139-145.
Gaol, J.L. & B. Sadhotomo (2007). Karakteristik dan variabilitas parameter-parameter oseanografi laut Jawa hubungannya dengan distribusi hasil tangkapan ikan. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia.13(3): 201-211.
Hantardi, Z., Asriyanto, & A. Dian (2013). Analisis lingkar tubuh dan cara tertangkap ikan tenggiri (Scomberomorus commerson) dengan alat tangkap jaring (gillnet) dengan mesh size 4 inchi dan hanging ratio 0,56. Journal Of Fisheries Resources Utilization Management And Technology.2(3): 253-262.
Hendiarti, N. & M. Sadly (2011). Potret potensi perikanan laut Indonesia. Dalam (Y. Ikawati). 2011. Teknologi adaptasi perubahan iklim untuk bidang kelautan, Ristek dan BPPT, Jakarta: 58-68.
Hendiarti, N., Suwarso, E. Aldrin, K. Amri, S.I. Sachoemar & I.B. Wahyono (2005). Seasonal variation of pelagic fish catch around Java. Oceanography.18(4): 112-123.
Hidayat, T. (2013). Aspek perikanan dan aspek biologi ikan tongkol batik (Euthynnus affinis, Cantor 1849) di laut Jawa. Tesis, Fakultas MIPA Universitas Indonesia, Depok: 81 hlm.
Illahude, A.G. (1970). On the occurence of upwelling in the southern Makasar strait. Mar. Res. Indonesia. 10: 3-53.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) (2013). Kelautan dan perikanan dalam angka 2013. Pusat Data Statistik dan Informasi Sekretariat Jenderal KKP, Jakarta: 940 hlm.
Koperasi Perikanan Laut Mina Sumitra (KPL) (2013). Data produksi ikan di TPI Karangsong. Indramayu 2013.
Kurnia, M., M. Palo & Jumsurizal (2012). Produktivitas pancing ulur untuk penangkapan ikan tenggiri (Scomberomorus commerson) di perairan pulau Tambelan Kepulauan Riau. Industrialisasi perikanan dan kelautan 2012 di Universitas Riau, disampaikan dalam seminar internasional/Nasional I: 13 hlm.
Merta, I.G.S. & S. Nurhakim (2004). Musim penangkapan ikan lemuru,(Sardinella lemuru, Bleeker 1853)di perairan selat Bali. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia.10(6): 75-81.
Merta, I.G.S., K. Susanto & B.I. Prisanto (2003). Pengkajian stok di samudera Hindia (WPP 4). Forum pengkajian stok ikan laut Indonesia, Pusat Riset Perikanan Tangkap BRKP-DKP, Jakarta: 99 hlm
Murniyati, A.S. (2003). Biologi 100 ikan laut ekonomis penting di Indonesia, (Edisi Ke 2). SUPM Negeri Tegal, Tegal: 31 hlm
Noegroho, T. (2013). Penelitian aspek biologi dan penangkapan ikan tenggiri (S. commerson, Lacepede 1800) di perairan teluk Kuandang, laut Sulawesi. Tesis, Fakultas MIPA Universitas Indonesia, Depok: 82 hlm.
Nontji, A. & A.G. Ilahude (1972). Ekologi fitoplankton di selat Bali. Oseanol. Indon. 5. 25-42.
Priatna, A. & M. Natsir (2007). Distribusi kepadatan ikan pelagis di perairan pantai utara Jawa bagian timur, pulau-pulau sunda dan laut Flores. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia.13(3): 223-232.
Ramadhan, D. (2008). Keramahan gillnet millenium Indramayu terhadap lingkungan.Analisis hasil tangkapan. Skripsi, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor: 70 hlm.
Sachoemar, S.I. (2011). Dampak pergeseran musim penangkapan ikan. Dalam (Y. Ikawati). 2011. Teknologi adaptasi perubahan iklim untuk bidang kelautan, Ristek dan BPPT, Jakarta: 69-77.
Sadhotomo, B. & J.R Durand (1997). General feature of Java sea ecology. Proceeding of the acoustics. Seminar Akustikan 2. EU-AARD-ORSTOM, Jakarta: 43-54.
Suadela, P. (2004). Analisis tingkat keramahan lingkungan unit penangkapan jaring rajungan (studi kasus di teluk Banten). Skripsi, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor, Bogor: 78 hlm.
Sumadhiharga, O.K. (2009). Ikan tuna. Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, Jakarta: 129 hlm.
Utami, D.P., I. Gumilang, & Sriati (2012). Analisa bioekonomi penangkapan ikan layur (Trichirus sp) di perairan Parigi Kabupaten Ciamis. Jurnal Perikanan dan Kelautan.3(3): 137-144.
Wahyuningrum, P.I., D. Simbolon & R. Rizkawati (2011). Pengaruh suhu permukaan laut terhadap hasil tangkapan ikan tenggiri di perairan Indramayu, Jawa Barat. Buletin PSP Bogor, Bogor.19(2): 59-67.
Widodo, A.A., F. Satria, L. Saidah & J. Riyanto (2011). Neritic tuna species caught by drifting gillnet in Indian ocean base in Cilacap-Indonesia. IOTC-2011-WPNT01-21, Cilacap: 21 hlm.
Widodo, J. (2002). Pengkajian stok sumber daya ikan laut Indonesia tahun 2002. Forum pengkajian stok ikan laut Indonesia, Pusat Riset Perikanan Tangkap BRKP-DKP, Jakarta: 99 hlm
Yani, A. (2004). Wilayah penangkapan ikan nelayan Kabupaten Indramayu. Tesis, Fakultas MIPA Universitas Indonesia, Depok: 94 hlm.
Oleh : Sudartono, S.St.Pi (Widyaiswara BPPP Tegal)