ARTIKEL

ALARM PENGADILAN TIPIKOR DAERAH

Berkaitan dengan kasus penangkapan hakim ad hoc Pengadilan Tipikor Semarang oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di halaman Pengadilan Negeri Semarang beberapa waktu lalu yang bertepatan dengan peringatan bulan, hari dan tanggal kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (bulan Ramadhan, hari Jum’at, tanggal 17 Agustus 2012), muncul keprihatinan yang amat dalam dan respon dari hampir semua lapisan masyarakat.Berkaitan dengan kasus penangkapan hakim ad hoc Pengadilan Tipikor Semarang oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di halaman Pengadilan Negeri Semarang beberapa waktu lalu yang bertepatan dengan peringatan bulan, hari dan tanggal kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (bulan Ramadhan, hari Jum’at, tanggal 17 Agustus 2012), muncul keprihatinan yang amat dalam dan respon dari hampir semua lapisan masyarakat.

Bagaimana mungkin orang sekelas Kartini Marpaung dan Heru Kusbandono yang notabene cukup lama berkecimpung di dunia penegakan hukum tidak terpantau rekam jejaknya oleh Komisi Yudisial (KY), sehingga ketika ada perekrutan hakim ad hoc Pengadilan Tipikor begitu saja lolos. Padahal menurut catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), sebelum keduanya menjadi hakim telah memiliki catatan hitam, dan setidaknya telah membebaskan lima terdakwa korupsi setelah menjadi hakim.

Adapun respon dari kalangan masyarakat cukup beragam, ada yang meminta agar hakim Pengadilan Tipikor dilakuan evaluasi, hakim yang terbukti bersalah harus dipecat, bahkan ada yang menganggap pengadaan lembaga Pengadilan Tipikor Daerah terlalu dipaksakan alias terburu-buru, walaupun mewujudkannya adalah merupakan perintah undang-undang.

Salah satu perespon kasus yang menghebohkan dunia peradilan tersebut di atas adalah alumnus fakultas hukum UNS-Surakarta. Dia adalah Joko Riyanto, penulis opini pada koran Wawasan yang terbit Kamis Pon 6 September 2012, dengan judul “Alarm Pengadilan Tipikor Daerah”, seperti judul tulisan ini. Dengan maksud agar tulisannya bisa dibaca dikalangan yang lebih luas, maka di bawah ini diturun kembali selengkapnya sebagai berikut.

Mahkamah Agung (MA) pun jangan segan bila ada hakim yang melanggar kode etik dan terlibat mafia kasus segera mencopotnya supaya mempermudah dalam penegakan hukum dan memberi efek jera bagi hakim lainnya. Selanjutnya ada baiknya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memanggil MA dan KY untuk melakukan evaluasi dan identifikasi intervensi legislative yang dibenarkan undang-undang (UU). Hal ini bertujuan memperoleh informasi yang jelas dan benar serta sebagai akuntabilitas terhadap rakyat.

Tepat di Hari Kemerdekaan RI 17 Agustus 2012, KPK menangkap tangan dua hakim ad hoc, yakni Kartini Juliana Magdalena Marpaung yang bertugas di Semarang dan hakim Heru Kusbandono yang bertugas di Pontianak. Mereka di tangkap seusai upacara Peringatan Detik-detik Proklamasi Kemerdekaan RI dengan barang bukti uang tunai Rp 150 juta.

Peristiwa tersebut sungguh sangat ironis. Sebab, beberapa bulan yang lalu hakim meminta gaji dan tunjangan dinaikkan dengan alasan mereka adalah pejabat Negara. Belum tiga bulan aspirasi tunjangan dan kesejahteraan lain diminta dinaikkan. Bahkan, sebelum penangkapan kedua hakim, Presiden SBY dalam pidato RAPBN 2013 dan nota keuangan telah mewujudkan komitmen untuk meningkatkan kesejahteraan hakim. Semestinya hal itu disambut para hakim dengan menorehkan kinerja dan prestasi yang baik, tapi justru tamparan keras, aib dan coreng kitam diberikan kepada korp hakim dengan perilaku suap.

Hemat saya, penangkapan dua hakim Pengadilan Tipikor oleh KPK merupakan alarm (peringatan bahaya) bagi Pengadilan Tipikor Daerah. Maka, evaluasi keberadaan Pengadilan Tipikor di 33 provinsi menjadi urgen. Pasalnya, sulit untuk mengontrol Pengadilan Tipikor di daerah. Secara yuridis, keberadaan Pengadilan Tipikor merupakan amanat UU Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor. Dalam pasal 3 disebutkan bahwa Pengadilan Tipikor berkedudukan di setiap ibukota kabupaten/kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum pengadilan negeri yang bersangkutan.

Harapan masyarakat terhadap Pengadilan Tipikor tidak lepas dari kekecewaan pada pengadilan umum. Tingkat putusan bebas/lepas dari tahun ke tahun sangat tinggi. Bahkan rata-rata vonis yang dijatuhkan relatif rendah. ICW mencatat, hingga 1 Agustus 2012, sedikitnya 71 terdakwa tindak pidana korupsi telah dijatuhi vonis bebas di Pengadilan Tipikor di 15 Provinsi.

Banyak faktor lahirnya vonis bebas oleh Pengadilan Tipikor Daerah Bisa jadi hakim Pengadilan Tipikor di daerah kurang berkualitas, tak memahami hukum, dan “bermain” dengan terdakwa. Atau jaksa kurang teliti dan lemah dalam melakukan dakwaan. Satu hal yang pasti, vonis bebas terhadap terdakwa korupsi adalah titik lemah dari para penegak hukjum di Indonesia. Ini menunjukkan bahawa kualitas penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga ke persidangan sangat rendah. Entah rendahny akualitas itu, karena memang penegak hukum kita yang tidak kapabel atau bisa diajak kompromi dengan tersangka atau terdakwa korupsi.

Hujan vonis bebas Pengadilan Tipikor kuat ditengarai karena remuknya integritas para hakim Pengadilan Tipikor, baik dari jenjang karier maupoun ad hoc. Penangkapan hakim ad hoc Kartini Juliana Magnalena Marpaung dan Heru Kusbandono memberikan bukti bobroknya moralitas hakim Pengadilan Tipikor Daerah. Sejak awal, banyak pihak meragukan kualitas Pengadilan Tipikor di daerah. Jujur saja, di daerah yang jauh dari pusat, masih memungkinkan adanya “permainan” diantara yang berperkara. Apalagi kredibilitas hakim tipikor dengan komposisi hakim karir dan dari profesional (pengacara), masih perlu dipertanyakan. Dengan maraknya putusan bebas itu, maka Pengadilan Tipikor hanya akan menjadi pengadilan pencuci koruptor.

Dalam rangka evaluasi Pengadilan Tipikor Daerah, perbaikan system rekrutmen hakim Pengadilan Tipikor sangat urgen dilakukan. Pola rekrutmen yang bersih, transparan, dan akuntabel wajib diterapkan MA untuk memperoleh hakim yang memiliki kapasitas, integritas, dan moralitas yang tinggi. Berikutnya model full audit investigation, yaitu MA harus secara aktif dan membuka ruang bagi public dalam melakukan penelusuran rekam jejak (personal, institusional, dan social) calon hakim tipikor yang akan ditempatkan di pengadilan tipikor daerah. MA juga perlu menggandeng KY dalam rekrutmen hakim pengadilan tipikor. Tujuannya agar proses seleksi bisa lebih ketat dan dilakukan secara transparan serta penuh tanggung jawab.

KY juga bisa memprioritaskan dalam hal mengawasi etik dan perilaku hakim tipikor yang meliputi hakim karier dan ad hoc, baik dalam kedeinasan maupun di luar kedinasan. Lemahnya pengawasan, membuat para hakim Pengadilan Tipikor di daerah membuka peluang permainan mafia peradilan di daerah menjadi subur dan menjadi tukang cucinya para koruptor. KY dituntut untuk mengevaluasi praktek Peradilan Tipikor di daerah dan memeriksa para hakim yang dianggap melakukan pelanggaran etik dan praktek mafia peradilan. Berdasarkan pasal 24B ayat (1) Undang-undang Dasar (UUD) 1945 dan UU No. 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial, KY bertugas menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Di sinilah peran pengawasan hakim secara ketat oleh KY mutlak dilakukan supaya tidak ada penyimpangan dalam memutus perkara korupsi.

MA sebagai institusi yang memayungi Pengadilan Tipikor hendaknya juga prima dalam mengadakan  sarana-prasarana, kelengkapan regulasi hingga pembenahan manajemen pengadilan tipikor daerah mulai dari masalah teknis, administratif, hingga keuangan (gaji hakim yang sering terlambat turun). Bayangkan untuk menyeleksi 244 hakim Pengadilan Tipikor, MA hanya diberikan anggaran Rp 2,5 miliar. Sangat jomplang bila dibandingkan dengan anggaran untuk memilih satu orang pemimpin KPK yang memakan biaya Rp 2 miliar.

MA pun jangan segan bila ada hakim yang melanggar kode etik dan terlibat mafia kasus segera mencopotnya supaya mempermudah dalam penegakkan hukum dan member efek jera bagi hakim lainnya. Selanjutnya, ada baiknay DPR memanggil MA dan KY untuk melakukan evaluasi dan identifikasi intervensi legislative yang dibenarkan UU. Hal ini bertujuan memperoleh informasi yang jelas dan benar serta sebagai akuntabilitas terhadap rakyat.

Tak kalah pentingnya melakukan penyempurnaan UU No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor. Diantaranya, perlunya aturan yang memungkinkan pengabilalihan kasus korupsi besar di daerah untuk ditangani dan diadili di Pengadilan Tipikor di Jakarta. Kini solusinya ada di tangan masyarakat, DPR, dan pemerintah. Jika mereka punya komitmen dalam pemberantasan korupsi, tentu saja permasalahan tersebut tidak akan dibiarkan. (Drs. Munasor, MM. Widyaiswara BPPP Tegal)

Komentar Anda

Gallery Foto

BERSAMA PERTAMINA, BPPP TEGAL LATIH NELAYAN INDRAMAYU BPPP TEGAL LATIH MASYARAKAT PERIKANAN DI KOTA SEMARANG BPPP TEGAL LATIH WANITA NELAYAN TANJUNG PASIR BANTEN DKP YOGYAKARTA KIRIMKAN 60 NELAYAN KE BPPP TEGAL DOSEN WAGENINGEN UNIVERSITY BELANDA KUNJUNGI BPPP TEGAL HENKITA DAN AUTOMATIC FEEDER DI MARINE & FISHERIES EXPO AND CONFERENCE Perjanjian kerjasama dengan Politeknik Negeri Nusa Utara Uji kompetensi ABK di BPPPTegal enteri Kelautan dan Perikanan (MKP) Susi Pujiastuti saat mengunjungi Stand Pameran Garam BPPP Tegal di Gedung Mina Bahari 3

Statistik Pengunjung

Kami memiliki 22 tamu dan tidak ada anggota online

Hubungi Kami

+62.283-356393

[email protected]

  bp3_tegal

Jalan Martoloyo
PO. Box 22
        Tegal - Jawa Tengah