PERILAKU KEKUASAAN MENENTUKAN KUAT LEMAHNYA KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Indonesia adalah sebuah Lembaga Negara yang saat ini sangat didambakan dan ditunggu kinerjanya oleh rakyat dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya sebagai Jawara dalam penegakkan hukum, khususnya mencegah dan menyelesaikan masalah bangsa yang bisa menyengsarakan rakyat, yang diakibatkan oleh perilaku sebagian orang dilingkaran kekuasaan di negara tercinta Republik Indonesia ini. Rasanya hati merasa miris dan risau ketika melihat kenyataan bahwa perilaku sedikit orang tersebut ternyata mengurat dan membudaya, sehingga seakan tak mungkin dapat di atasi dan diselesaikan dengan segera walau sudah disediakan sarana super body dengan kewenangan yang luar biasa. Mengapa demikian, karena super body tersebut ternyata juga harus kuat dan berani. Dan kekuatan serta keberanian dimaksud akan ada pada super body jika lingkungan kekuasaan lembaga negara yang lain ikut mendukung pelaksanaan tugasnya. Terkait dengan ini penulis menurunkan tulisan Bambang Soesetyo, anggauta Komisi III DPR RI dari Fraksi Golkar di halaman “Opini dan Features” Koran Pagi Wawasan, yang terbit pada tanggal 29 Nopember 2011 dengan judul seperti di atas, selengkapnya sebagai berikut:

Jika kekuasaan bersih, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pasti kuat dengan sendirinya. Sebaliknya, kalau penuh noda korupsi, kekuasaan akan memperlemah KPK dengan kekuatan dan kewenangannya. Sangat mudah untuk dimengerti bahwa konsistensi atau kuat-lemahnya KPK hanya bergantung pada satu faktor, yakni perilaku kekuasaan itu sendiri. Kekuasaan yang bersih sudah pasti membutuhkan KPK yang kuat, konsisten dan independen. Sebab, kekuasaan akan diuntungkan oleh produktivitas KPK memerangi perilaku korup penyelenggara pemerintahan, baik di pusat maupun daerah. Minimal, kemampuan KPK mencegah pencurian uang Negara serta menyergap para tersangka koruptor akan ikut memperkuat citra pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Apa jadinya kalau kekuasaan itu sendiri kotor akibat noda korupsi di semua lini kewenangan? Sudah pasti kekuasaan akan gelisah, takut pada bayang-bayang dan mencari ragam cara untuk membangun rasa aman saat terkini maupun di kemudian hari.

Kalau kekuasaan itu menggenggam wewenang kontrol atas semua institusi penegak hukum, cara paling “instan” adalah memreteli kewenangan penegak hukum, termasuk KPK tentu saja. Proses mempreteli kewenangan penegak hukum itu saja tidak dituangkan melalui kebijakan terbuka. Dilakukan melalui pengarahan (baca: permintaan atau instruksi) di ruang tertutup atau dengan cara “injak kaki” di lapangan oleh para calo (mafia hukum) yang bertindak atas nama kepentingan kekuasaan.

Sampai kita pada pertanyaan bersama; apakah kekuasaan di negara ini, saat ini, bersih? Mereka yang pro kekuasaan pasti punya versi jawaban sendiri. Sebaliknya, mereka yang kritispun punya versi lain. Untuk menyegarkan ingatan, semua komponen masyarakat sebaiknya tidak lupa bahwa penguasa saat ini masih berutang penyelesaian kasus Bank Century, kasus mafia pajak, dugaan suap pembangunan wisma atlet, proyek Hambalang, hingga kasus surat palsu Mahkamah Konstitusi (MK).

Baik-buruknya perilaku kekuasaan bisa di amati dari penyikapan terhadap kasus Bank Century, kasus mafia pajak dan kasus cek-pelawat pemilihan Deputi Gubernur Senior (DGS) Bank Indonesia (BI). Baik-buruknya perilaku kekuasaan itu tentu saja mempengaruhi kemauan dan kesungguhan KPK memproses tiga kasus itu. Pengaruh yang sama menghinggapi institusi pemegak hukum lain ketika memproses pemalsuan surat MK. Menyikapi empat kasus ini, baik kekuasaan maupun institusi penegak hukum tampak jelas sangat minimalis. Padahal, kasus Bank Century maupun kasus mafia pajak sangat strategis untuk dituntaskan. Selain menyangkut pertanggungjawaban penggunaan uang Negara oleh otoritas fiscal dan otoritas moneter dalam menyelamatkan Bank Centuri, kasus ini adalah mega skandal yang bisa berdampak serius bagi bobot dan kualitas kepercayaan publik terhadap industri perbankan nasional.

Sulit dimengerti jika kekuasaan berperilaku minimalis dengan menunjukkan kepedulian yang minim terhadap proses hukum kasus ini. Keputusan Rapat Paripurna DPR tentang skandal ini bahkan nyaris tidak dihiraukan. Apalagi menyikapi kasus mafia pajak. Perilaku kekuasaan cenderung menyederhanakan kejahatan ini. Proses hukumnya dilokalisasi pada para pelaku di lapangan yang sesungguhnya tidak berani melakukan penggelapan pajak jika tidak mendfapat restu dari atasannya. Kejahatan ini merugikan Negara dalam bilangan puluhan hingga ratusan triliun rupiah. DPR telah berinisiatif mengungkap jaringan mafia pajak, karena ada dugaan penggelapan pajak juga melibatkan perusahaan asing. Tetapi penguasa justru tidak menunjukkan minat berperang melawan mafia pajak. Dominasi Kekuasaan jika peduli pada kepentingan bangsa dan Negara, tanpa perlu didorong-dorong, kekuasaan mestinya mengerahkan KPK menggelar perang mengejar dan menyergap jaringan mafia pajak. Menyedihkan karena jaringan mafia pajak tak pernah terungkap, karena baik KPK maupun penegak hukum lain hanya focus pada seorang Gayus Tambunan.

Dalam dugaan kasus Wisma Atlet Sea Games Palembang dan proyek Hambalang, proses hukumya memang tengah berjalan. Tapi proses hukum itu lebih terlihat sebagai upaya menghibur dahaga publik akan keadilan, karena dakwaan hanya dialamatkan kepada orang-orang yang secara politis lemah. Seolah-olah keadilan telah ditegakkan. Tapi, rakyat tak mau lagi dibohongi. Rakyat masih menunggu langkah KPK selanjutnya setelah memeriksa menteri, anggauta DPR, dan pimpinan partai politik yang diduga terlibat dalam kasus dugaan suap Wisma Atlet Sea Games Palembang maupun proyek Hambalang. Pimpinan KPK, belum lama ini, berjanji kepada publik bahwa akan diumumkan tersangka baru. Sudah berminggu-minggu sejak janji itu dikumandangkan, identitas tersangka baru itu belum juga diumumkan.

Perjuangan mantan Ketua KPK Antasari Azhar dan para kuasa hukumnya untuk bebas dari dakwaan terlibat pembunuhan berencana barangkali bisa member gambaran tambahan tentang perilaku kekuasaan menyikapi sepak terjang KPK. Seandainya Antasari benar-benar hanya menjadi korban rekayasa kasus pembunuhan itu, kemenangannya tidak otomatis memulihkan independensi dan nyali KPK. Menurut persepsi publik, KPK tak lagi bernyaqli setelah Antasari dijadikan pesakitan. Dan, publik mahfum bahwa hanya kekuasaan dan kekuatan besar yang bisa mengubah status Ketua KPK menjadi pesakitan. Selama kekuasaan yang korup masih ikut campur menentukan pimpinan KPK, tidak realistis mendambakan KPK yang kuat, bernyali dan independen. Kekuasaan di manapun tidak membiarkan anak macan tumbuh menjadi kuat dengan taring sangat tajam. Sebab pembiaran seperti itu akan menghadirkan resiko sangat besar, karena berpotensi mencabik-cabik kekuasaan itu sendiri.

Demikian pandangan Bambang Soesetyo tentang kuat-lemahnya KPK, semoga menambah pengetahuan bagi pembaca.

 

Munasor, Widyaiswara  Balai Diklat Perikanan Tegal

Indeks Kepuasan Masyarakat

Gallery Foto

BERSAMA PERTAMINA, BPPP TEGAL LATIH NELAYAN INDRAMAYU BPPP TEGAL LATIH MASYARAKAT PERIKANAN DI KOTA SEMARANG BPPP TEGAL LATIH WANITA NELAYAN TANJUNG PASIR BANTEN DKP YOGYAKARTA KIRIMKAN 60 NELAYAN KE BPPP TEGAL DOSEN WAGENINGEN UNIVERSITY BELANDA KUNJUNGI BPPP TEGAL HENKITA DAN AUTOMATIC FEEDER DI MARINE & FISHERIES EXPO AND CONFERENCE Perjanjian kerjasama dengan Politeknik Negeri Nusa Utara Uji kompetensi ABK di BPPPTegal enteri Kelautan dan Perikanan (MKP) Susi Pujiastuti saat mengunjungi Stand Pameran Garam BPPP Tegal di Gedung Mina Bahari 3

Statistik Pengunjung

Kami memiliki 17 tamu dan tidak ada anggota online

Hubungi Kami

+62.283-356393

[email protected]

  bp3_tegal

Jalan Martoloyo
PO. Box 22
        Tegal - Jawa Tengah