MENUJU NEGARA GAGAL
Kita sering lalai dan dilalaikan dengan urusan-urusan keseharian yang rumit dan dangkal, sehingga tidak sempat peduli dengan bangunan besar (organisasi negara) yang sedang kita usahakan agar punya manfaat besar bagi kita semua, rakyat dan bangsa Indonesia.
Negara mestinya hadir menunaikan tugas dan kewajibannya, terutama dalam mewujudkan keadilan dan kemakmuran rakyat. Saatnya pemimpin Negara bertindak nyata, bukan lagi berwacana.
Hasil riset The Fund for Peace bekerja sama dengan majalah Foreing Policy tentang failed state index atau index negara gagal, menempatkan Indonesia di posisi ke-63, yakni posisi “dalam peringatan” (warning). Peringkat itu berarti lebih buruk ketimbang index tahun lalu yang menempatkan Indonesia di posisi ke-64 dari 177 negara. Hal ini buruk, karena semakin kecil peringkat Negara di index tersebut berarti Negara itu menuju Negara gagal.
The Fund for Peace, lembaga yang membuat index tersebut, menyebut posisi Indonesia memburuk karena tiga hal. Pertama adalah tekanan demografis. Tekanan demografis ini terjadi karena masalah degradasi lahan serta tergusurnya warga karena masalah lingkungan. Permasalahan kedua adalah ketidak puasan kelompok. Ketidak puasan kelompok terjadi karena di Indonesia bermunculan banyak aksi demonstrasi serta kekerasan terhadap kelompok-kelompok minoritas. Dan yang ketiga masalah tekanan social akibat melebarnya jurang antara yang kaya dan yang miskin.
Sebuah Negara dianggap gagal jika ia tidak bisa memenuhi kebutuhan rakyatnya dengan baik. A failed state results when the leadership and institutions of the state are wakened and discredited to the point where the state can no longer fulfill its responsibitities or exercise sovereignty power over the territory within its borders (Stoddard, A: Ethnonationalism and the Failed State: Sources of Civil State Fragmentation in the International Political Economy Emerge: A Graduate Journal of International Affairs, Valume-4, Carleton University, Kanada, 2000)
Sindrom Negara Gagal
Sindrom ini dapat dilihat pada beberapa indicator social, ekonomi, politik, maupun militer. Sindrom dari Negara gagal antara lain, keamanan rakyat tidak bisa dijaga, konflik etnis dan agama tak kunjung usai, korupsi merajalela, legitimasi Negara terus menipis, ketidak berdayaan pemerintah pusat dakam menghadapi masalah dalam negeri, dan kerawanan terhadap tekanan luar negeri (Robert I Rotberg, The Nature of Nation-State Failure, 2000).
Secara nyata bahwa dalam sebuah tatanan kenegaraan, fungsi utama dari kehadiran Negara adalah melindungi segenao rakyatnya. Dalam Pembukaan UUD 1945 juga dinyatakan tujuan negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mensejahterakan rakyat yang berkeadilan. Tapi, semua itu belum dipenuhi oleh Negara (baca: pemimpin bangsa). Ini berarti negara itu bisa dikategorikan gagal.
Sejumlah toko nasional dalam berbagai kesempatan pernaqh menyampaikan tentang gejala Indonesia menuju Negara gagal, tapi hanya dianggap angin lalu saja. Tanda-tanda bahwa bangsa Indonesia menuju kea rah Negara gagal memang mendekaqti kenyataan. Hal ini bisa dilihat dari beberapa hal.
Pertama, Negara tidak mampu menyediakan dan memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya, seperti pelayanan pendidikan, pelayanan kesehatan, penyediaan bahan kebutuhan pokok. Keadilan social bagi bagi seluruh rakyat Indonesia dalam Pancasila seperti jauh panggang dari api. Sampai sejauh ini rasanya saya belum dapat merasakan tujuan bangsa untuk mewujudkan masyarakat adil dan sejahtera.
Kedua, merajalelanya korupsi. Praktek korupsi dilakukan lembaga yang sebenarnya mempunyai tugas pokok melindungi rakyat, masyarakat, dan negara terhadap gangguan korupsi. Sebut saja korupsi dilakukan oleh lembaga eksekutif, legislative dan yudikatif. Dalam praktiknya, Negara gagal juga terjadi praktik persengkokolan antara Negara dengan para pengusaha hitam, mafia hukum dan mafia peradilan yang merusak tatanan hukum. Ada juga korupsi yang dikuasai negara, karena rekayasa dan dekat dengan kekuasaan. Contohnya, kasus korupsi BLBI, kasus century, cek pelawat, mafia pajak, kasus suap Wisma Atlet Sea Games, dan proyek Hambalang.
Ketiga, maraknya kejahatan sosial kemanusiaan, seperti perilaku destruktif kelompok yang mengatasnamakan organisasi keagamaan, terorisme, intimidasi, konflik, bentrok massa, dan pembunuhan umat beragama. Juga perampokan dan pembunuhan yang banyak terjadi akhir-akhir ini. Hal itu membuktikan bahwa Negara ini gagal dalam memberikan rasa aman kepada rakyatnya.
Ketidakberdayaan Pemimpin
Keempat, panggung politik dipenuhi oleh pola pikir liberal dan machiavelisme. Politik permusyawaratan sebagaimana diamanatkan oleh sila keempat Pancasila seperti barang using dan utopsi belaka. Jangkauan pandang partai-partai politik hanya sanggup melihat selama lima tahun ke depan. Itupun bukan dalam kerangka p[olitik Negara, namun lebih kepada politik kepentingan dan politik kekuasaan “an sich”.
Kelima, ketidakberdayaan, ketidakberanian, dan ketidaktegasan kepemimpinan nasional, sehingga nyaris tidak ada masalah bangsa dan negara yang selesai. Sebaliknya, masalah kian menumpuk menggerogoti kehidupan berbangsa dan bernegara. Malahan, para tokoh agama pernah melansir bahwa pemerintahan telah melakukan kebohongan publik.
Pemerintah seharusnya menyadari hal ini. Bukan malah salaing membusungkan dada, tebar pesona (bukan tebar kinerja) dan mengumbar pernyataan politis yang tak jelas juntrungnya. Atau dengan berbagai dalih, membela diri melalui jurus penyangkalan yang intinya tak mau dipersalahkan terkait peliknya permasalahan yang menerpa bangsa ini. Selama penyelenggara negara, terutama pemimpin negara, tidakmengindahkan rupa-rupa peringatan itu, bukan mustahil negara gagal benar-benar menjadi kenyataan.
Negara mestinya hadir menunaikan tugas dan kewajibannya, terutama dalam mewujudkan keadilan dan kemakmuran rakyat. Saatnya pemimpin negara bertindak nyata, bukan lagi berwacana. Sedikit bicara, banyak karya. Pakar politik terkemuka Peter Evans menyarankan untuk bringing state back in, membawa kembali Negara sesuai fungsinya dalam kapasitas Negara yang cukup untuk melakukan proses modernisasi dan kesejahteraan bersama. (Drs. Munasor, MM. Widyaiswara BPPP Tegal)