PELEMAHAN KPK DAN MISI KORUPSI
Penulis ikut prihatin dengan kuatnya indikasi adanya upaya pelemahan Lembaga Negara andalan rakyat satu-satunya pada kurun ini, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dilahirkan dari suatu momen yang diberi label reformasi. Semangat reformasilah yang membidani proses kelahiran Jawara (KPK) pemberantas “kejahatan berkrah putih” (koruptor) yang waktu itu sulit di selesaikan oleh lembaga penegak hukum yang sudah ada. Kejahatan itu berada dan bertengger di kursi-kursi kekuasaan penyelenggaraan Negara, makanya kepolisian dan kejaksaan yang notabene merupakan perangkat suatu Lembaga Negara klimpungan ketika harus menghadapi pelaku kejahatan tersebut. Jika tidak ada momen reformasi, barangkali sampai sekarang Jawara tersebut tidak akan dilahirkan. Hal ini dapat dilihat dari perjalanan pelaksanaan tugas KPK yang sering mendapat tudingan miring dan tidak profesional dari pihak-pihak yang tidak legowo menerima kehadirannya. Dan indikasi terakhir adanya pelemahan atas kekuatan Jawara itu adalah semangat Bidan (DPR) yang ikut melahirkannya, yakni upaya untuk mengubah atau merevisi aturan eksistensinya (UU-KPK), dengan agenda mreteli kedigdayannya. Apapun alasannya, niat merevisi kekuatan Jawara andalan rakyat saat ini pasti akan mendapat tentangan alias tidak akan di dukung oleh pemberi mandat mereka yang menyandang wakil rakyat itu. Seharusnya yang namanya wakil rakyat ya tinggal meneruskan dan memperjuangkan “karepe rakyat wae” (kehendak rakyat saja), aja karepe sampaian wae! Rakyat lagi demen dengan kiprah Jawara andalannya, ya tinggal difasilitasi dengan tidak bertindak atau berperilaku yang mengecewakan dan menyakitkan hati pemberi mandat. Kaya gitu saja kok repot!
Kalau kita telaah, usaha-usaha pelemahan tersebut mengindikasikan bahwa pelakunya sangat berambisi untuk melakukan korupsi. Mereka begitu bernafsu menggerogoti anggaran Negara demi kepentingannya sendiri. Perbuatan yang sangat mengecewakan dan menajiskan.
Benar suara kata bijak berdengung. Semakin keadilan ditegakkan, semakin banyak yang meruntuhkan. Semakin tinggi sebuah pohon, semakin kencang angin menerpa. Semakin tegak “bahu” KPK, semakin berat beban dan tantangan yang dipikul KPK. Semakin tinggi jangkauan tangan dan kaki KPK, semakin tajam pula pisau-pisau yang ingin “memotong”.
Itulah yang sedang dialami oleh KPK. Semakin hari, KPK harus menghadapi begitu Banyak tantangan yang cukup berat karena lembaga anti korupsi ini semakin gerilya memberantas dan mengungkap kasus korupsi. Tantangan dan perlawanan yang dihadapi oleh KPK memang tiada habisnya. Benarlah kata sang Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD bahwa pelemahan KPK terjadi secara sistematis dan berkelanjutan. Sistematis artinya tersusun secara rapi tanpa meninggalkan kesan yang tidak baik dan berkelanjutan artinya terus menerus tanpa ada titik akhir. Pernyataan Mahfud memang bukan tanpa sebab. Jika kita telusuri dari masa-masa sulit yang dilalui KPK mulai sejak dilahirkan tahun 2003, cukup banyak peristiwa yang ingin menghilangkan eksistensi KPK.
Pertama, ketika Antasari Ashar (mantan Ketua KPK) ditahan, banyak dugaan bahwa kasus tersebut tidak terlepas dari balas dendam para koruptor. Saat Antasari Ashar yang kini berstatus terpidana itu ditangkap, Komisi III DPR menyatakan saat itu KPK sudah tidak memiliki legitimasi lagi, sebab pimpinannya ditangkap sehingga fungsi kolektif kolegialnya telah habis.
Kedua, pelemahan KPK kembali terjadi ketika dua pimpinan KPK lainnya, Binit Samad Rianto dan Chandra Marta Hamzah sempat dituding menerima suap dan penyalah guanaan wewenang dalam kasus yang melibatkan Anggoro. Kasus ini juga disinyalir adalah sebuah “aksi balas dendam” oleh para koruptor baik yang sudah ditangkap maupun yang masih berkeliaran.
Ketiga, saat KPK menginginkan gedung baru kepada DPR, betapa sulitnya mereka mendapat persetujuan atas gedung baru KPK tersebut. Padahal, gedung baru itu adalah kebutuhan cukup vital, karena dinilai gedung yang ada sudah tidak cukup lagi menampung para personelnya. Peristiwa ini menimbulkan rasa simpati dari rakyat Indonesia. Sampai-sampai rakyat melakukan pengumpulan koin untuk pembangunan gedung baru tersebut.
Keempat, kasus perseteruan antara KPK dengan Polri mengenai kasus korupsi proyek Simulator SIM oleh Inspektur Jenderal Djoko Susilo menambah “lawan” KPK. Komplikasi atas kasus ini, Polri menarik para personelnya yang bekerja di KPK. Yang terakhir, seperti terjadi saat ini, pengusulan revisi Undang-undang (UU) No. 30 tahun 2002 tentang KPK yang disinyalir akan memangkas/membonsai kewenangan KPK, secara khusus dalam penyadapan dan penuntutan.
Misi Korupsi
Kalau kita telaah, usaha-usaha pelemahan tersebut mengindikasikan bahwa pelakunya sangat berambisi untuk melakukan korupsi. Mereka begitu bernafsu ingin menggerogoti anggaran Negara demi kepentingannya sendiri. Perbuatan yang sangat mengecewakan dan menajiskan.
Mereka yang adalah wakil-wakil rakyat tega-teganya ingin “menghancurkan” satu-satunya harapan rakyat untuk mengungkap sindikat korupsi yang terjadi di negeri ini (yang mana rakyat saat ini mengalami krisis kepercayaan kepada keberadaan Polri dan Penegak Hukum untuk memberantas korupsi). KPK yang adalah harapan rakyat untuk memberantas korupsi, malah ingin dibungkam oleh wakil rakyat sendiri.
Pengusulan revisi UU No. 30 tahun 2002 memang cara sistematis yang dilakukan oleh DPR. Mereka memanfaatkan kesempatan atas momen yang terjadi. Dengarkanlah komentar beberapa anggauta DPR terkait revisi UU tersebut. Mereka mengatasnamakan harmonisasi dan integrasi dengan adanya revisi UU ini. Mereka beralasan , semangat utama merevisi Undang-undang KPK adalah mengitergrasikan proses penegakkan hukum antara KPK dan dua lembaga penegakkan hukum lainnya, yaitu kejaksaan dan kepolisian.
Mereka mencontohkan, polemic penanganan kasus korupsi pengadaan simulator alat uji surat ijin mengemudi adalah salah satu contoh koordinasi yang kurang baik. Sebuah alasan yang tak masuk akal, lagi tak masuk hati nurani.
DPR seharusnya merevisi perbuatan dan perilakunya. Kesalahan bukan pada undang-undangnya, tetapi pada perilaku dari pelaku korupsi (koruptor-penulis). DPR seharusnya membenahi dan memperbaiki citra buruk yang selama ini kelam di mata rakyat. Banyak perilaku anggauta DPR yang menyimpang dari amanah yang harus mereka pegang dan laksanakan. Bila kita mengingat-ingat berbagai perilaku dimaksud, sungguh sangat melukai dan menyakiti hati rakyat.
Jika DPR dapat menjamin bahwa mereka bersih dari korupsi, tak perlu ada revisi tersebut. Dan jika memang DPR berniat memperbaiki hubungan KPK dan Polri atau nKPK dan Kejaksaan, revisi tersebut tak dapat diterima, alias gak nyambung. Jika DPR serius “mendamaikan” lembaga-lembaga tersebut, banyak cara elegan yang dapat dilakukan.
Misalnya, mengajak ketiga lembaga tersebut duduk bersama, mencari solusi atas perseteruan, memberikan motivasi-motivasi agar lebih baik lagi kinerja lembaga-lembaga tersebut dalam melayani masyarakat. Itu baru OK (alias rakyat setuju dan mendukung penuh)!
Revisi UU No. 20 tahun 2002 justru ingin “membunuh” KPK secara perlahan-lahan. Inikah yang namanya dukungan kepada KPK?
(Drs. Munasor, MM. Widyaiswara BPPP Tegal)