Moratorium Perizinan Kapal Penangkap Ikan di Atas 30 GT harus Diimbangi dengan Peningkatan Kompetensi SDM ABK Lokal
BPPP Tegal (19/11) - Moratorium Perizinan Kapal Penangkap Ikan di atas 30 GT di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia telah diberlakukan pemerintah oleh karena itu seluruh perangkat pengawasan dan keamanan laut di seluruh Indonesia sudah mulai bergerak melakukan operasi untuk menertibkan wilayah perairan Indonesia dari kapal-kapal diatas 30 GT yang masih beroperasi. Meskipun armada kapal dan biaya operasional sangat terbatas, namun Menteri Kelautan dan Perikanan (Susi Pujiastuti) berharap pengawasan yang dilakukan dapat berjalan efektif. Peraturan Menteri Nomor 56/Permen-KP/2014 tentang Penghentian Sementara (Moratorium) Perizinan Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia yang berlaku 3 November 2014 s/d 30 April 2015, moratorium berlaku untuk kapal yang pembangunannya dilakukan di luar negeri dengan kapasitas diatas 30 GT. Bagi yang melakukan pelanggaran, akan dikenakan sanksi administrasi.
Moratorium izin kapal ikan di atas 30 GT merupakan bagian dari kebijakan menteri Kelautan dan Perikanan , agar penerimaan negara dari sektor kelautan meningkat dan untuk memberantas pencurian ikan yang selama ini terjadi di perairan Indonesia. Dari total kapal 5.329 kapal dengan alokasi bahan bakar minyak (BBM) mencapai 2,1 juta kiloliter per tahun, pemerintah subsidi industri penangkapkan ikan sebesar Rp11,5 triliun dan PNBP (penerimaan negara bukan pajak) yang didapat hanya Rp300 miliar. Negara menurut Menteri Kelautan dan Perikanan dirugikan sekitar Rp11 triliun. Menteri Kelautan dan Perikanan menjelaskan dasar pelaksanaan moratorium adalah untuk memulihkan sumber daya ikan yang sudah terkuras, perbaikan lingkungan yang rusak, dan memantau kepatuhan pelaku usaha penangkapan ikan. Moratorium ini juga dilakukan sebagai upaya pemerintah dalam meningkatkan kehidupan nelayan, serta memberi kesempatan kepada pengusaha dengan kapal lokal untuk lebih banyak mendapatkan manfaat.
Kapal Asing yang beroperasi di wilayah penangkapan Indonesia selain banyak yang melanggar penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan seperti pukat harimau juga banyak yang menggunakan ABK Asing. Berdasarkan pasal 35A UU Perikanan secara tegas mewajibkan kapal perikanan Indonesia harus diawaki pelaut berkewarganegaraan Indonesia. Sedang kapal asing yang beroperasi di wilayah ZEE Indonesia wajib diawaki oleh pelaut Indonesia paling sedikit 70 persen dari jumlah anak buah kapal. Pasal 19 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.26 Tahun 2013 sebenarnya sudah sangat jelas mengatur bahwa sebelum diterbitkan SIPI, perusahaan atau agen kapal perikanan harus membuat pernyataan bahwa sanggup menggunakan nakhoda dan ABK berkewarganegaraan Indonesia.
Saat inilah saat yang tepat untuk memberlakukan agar kapal asing yang beroperasi di wilayah penagkapan ikan Indonesia tidak menggunakan alat tangkap pukat harimau dan harus menggunakan ABK warga Negara Indonesia serta berinvestasi di wilayah Indonesia agar rakyat Indonesia menikmati nilai tambah dari produk perikanan tersebut. Penyiapan SDM terutama ABK lokal (warga Negara Indonesia) melalui pelatihan perlu didorong agar pada saat kapal penangkap ikan diharuskan menggunakan ABK lokal, kita telah siap. BPPP Tegal yang merupakan Unit Pelaksana Teknis Badan Pengembangan SDM Kelautan dan Perikanan dewasa ini telah melatih dan menguji kompetensi calon ABK di kapal Asing yang beroperasi di Taiwan, Korea Selatan , bahkan ada yang menjadi ABK kapal ikan Rusia. SDM terlatih ini seharusnya tidak perlu merantau ke Luar negeri ketika mendapat imbalan yang setara, tetapi mereka memilih menjadi ABK kapal asing karena aturan tentang Kapal ikan yang beroperasi di Indonesia 70 % harus orang Indonesia belum sepenuhnya diberlakukan dan imbalan yang diperoleh di Indonesia kurang sepadan. BPPP Tegal telah melakukan pelatihan pemantau kapal penangkap dan pengangkut ikan (observer on-board) sebagai bagian dari pemenuhan resolusi dan kepatuhan di Regional Fisheries Management Organizations (RFMOs) dalam hal kewajiban penempatan pemantau/observer di kapal penangkap ikan. Peraturan Menteri yang mengatur tentang pemantauan di atas kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan di WPP-NRI yaitu Peraturan Meteri Kelautan dan Perikanan nomor 1/PERMEN-KP/2013 tentang Pemantau Kapal Penangkap Ikan dan Kapal Pengangkut Ikan. Pemantau kapal penangkap ikan ini dapat menjadi profesi tersendiri karena diperlukan kompetensi tertentu untuk dapat melaksanakan tugas sebagai pemantau kapal penangkap ikan dan pengangkut ikan. Petugas pemantau (observer on board) harus dapat mengambil data yang akurat pada saat operasi penangkapan sehingga data yang dilaporkan menjadi acuan dan dasar pertimbangan dalam berbagai kebijakan pengelolaan perikanan tangkap dalam rangka perikanan tangkap yang berkelanjutan.
Persyaratan pemberian izin kapal Penangkap Ikan asing di atas 30 GT ketika moratorium dicabut sudah sepatutnya dilengkapi dengan pemberlakuan 70 % ABK nya warga Negara Indonesia, Hasil tangkapnya didaratkan di Pelabuhan Perikanan di wilayah Republik Indonesia serta di setiap kapal yang beroperasi diwajibkan merekrut observer on board terlatih dari Indonesia. Penyiapan SDM ABK , Observer on board , tenaga kerja pengolahan yang mempunyai kompetensi dapat di siapkan oleh Balai Pendidikan dan Pelatihan Perikan (BPPP) yang ada di 5 lokasi yakni Tegal, Banyuwangi, Belawan Medan, Air Tembaga Bitung dan Ambon. BPPP tersebut merupakan UPT dari Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia (BPSDM-KP).
Oleh : Moch. Heri Edy
Gambar : Kegiatan Pelatihan Keterampilan Perikanan BPPP Tegal di perairan sekitar Tegal